Minggu, 29 April 2012

Pembelajaran Berbicara


Strategi Pembelajaran Keterampilan Berbicara *

A. Elemen Keterampilan Berbicara
Berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan untuk mencapai tujuan tertentu. Beberapa konsep dasar berbicara harus dipahami oleh pengajar sebelum mengajarkan berbicara kepada siswanya. Terdapat lima konsep, yakni: penyimak, pembicaraan, media, sarana, dan pembicara (Iskandarwassid, 2008).
Keberhasilan berbicara, dapat dilihat pertama kali pada penyimak atau pendengar. Cara yang digunakan adalah dengan menganalisis situasi dan kebutuhan, tingkat pendidikan, pendengar. Dengan cara ini akan menghindarkan dari kesalahan-kesalahan dalam berbicara.
Ada beberapa bidang analisis, yakni:
1)Harapan dan tujuan dari orang yang berbicara
2)Harapan dan keinginan/kebutuhan pendengar
3)Organisasi pada umumnya dan tempat berbicara (maksudnya ketepatan dalam memulai dan menutup pembicaraan).
Sebelum pembicaraan berlangsung, maka pembicara seharusnya mempersiapkan apa yang akan dibicarakan (Tarigan, 1981:25). Diantaranya:
1) Menentukan materi/topik
Materi atau pembicaraan yang dimaksud adalah menarik, bermanfaat, dan aktual.
2) Menguasai materi
Penguasaan materi dapat ditempuh dengan cara mempelajari, memahami, dan berusaha menguasi materi materi pembicaraan. Yaitu dengan menelaah berbagai sumber acuan yang berkaitan dengan topik pembicaraan.
3) Memahami khalayak
Pembicaraan disesuaikan dengan jumlah, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, minat/ kebiasaan, agama/kepercayaan yang dianut.
4) Memahami situasi
Mengetahui situasi pada saat pembicaraan berlangsung (lokasi, ruangan, waktu, sarana penunjang, dan suasana pembicaraan)
5) Merumuskan tujuan yang jelas
Pembicaraan harus mempunyai tujuan yang jelas. Apakah bertujuan menghibur, menginformasikan, menstimuli, meyakinkan, atau menggerakkan.
Pembicaraan dapat disampaikan dengan lebih menarik jika didukung dengan memberikan ilustrasi yang tepat, dan menggunakan alat bantu yang tepat. Misalnya menggunakan kaset, computer, gambar, dsb.
Pembicara adalah unsur  penting yang menentukan efektifitas retorik (Hendrikus, 2003:144).
1) Memiliki pengetahuan yang luas
2) Kepercayaan diri yang cukup
3) Berpenampilan yang sesuai
4) Memiliki artikulasi yang jelas
5) Jujur, ikhlas, kreatif dan bersemangat
6) Tenggang rasa dan sopan santun


B. Tujuan Pembelajaran Keterampilan Berbicara
Pada tingkat pemula, tujuan pembelajaran keterampilan berbicara meliputi: melafalkan bunyi-bunyi bahasa, menyampaikan informasi, menyatakan setuju atau tidak setuju, menjelaskan identitas diri, menceritakan kembali hasil simakan/bacaan, menyatakan ungkapan rasa hormat, dan bermain peran.
Untuk tingkat menengah, tujuan pembelajaran keterampilan berbicara dapat dirumuskan: menyampaikan informasi, berpartisipasi dalam percakapan, menjelaskan identitas diri, menceritakan kembali hasil simakan atau bacaan, melakuakan wawancara, bermain peran, menyampaikan gagasan dalam diskusi atau pidato.
Tingkat paling tinggi, dapat dirumuskan bahwa: menyampaikan informasi, berpartisipasi dalam percakapan, menjelaskan identitas diri, menceritakan kembali hasil simakan atau hasil bacaan, berpartisipasi dalam wawancara, bermain peran, dan menyampaikan gagasan.


C. Strategi Pembelajaran Keterampilan Berbicara
Strategi kompetensi disebut juga dengan strategi komunikasi atau communication strategies (Thornburry, 2006: 29).
Ada beberapa hal yang yang harus diperhatikan dalam strategi komunikasi yakni:
  • Menggunakan kata-kata yang banyak/tidak langsung (tidak to the point)
  • Pembentukan kata baru (pilihan kata yang baru)
  • Mengubah kata-kata baru agar lebih dikenal (penyerapan kata asing), contoh: karpet.
  • Menggunakan kata yang saling berhubungan atau kata-kata alternatif (Menyederhanakan kata-kata yang masih khusus). Contoh: meja kerja
  • Menggunakan kata-kata yang umum atau sudah dikenal.
  • Menggunakan ekspresi atau alih kode, contoh:menggunakan bahasa jawa karena pada orang Jawa.
  • Menggunakan gerak tubuh atau mimik untuk meyakinkan maksud yang kita inginkan.
Terdapat beberapa aktivitas yang mempermudah seorang siswa untuk belajar keterampilan berbicara, seperti mengubah topik, merespon atau menolak atau dapat dikenal dengan Awareness-Raising Activities. untuk itu ada beberapa hal yang perlu dilakukan yakni:
1) Attention (memperhatikan)
2) Noticing ( mengenali)
3) Understanding (memahami)
Strategi pembelajaran berbicara merujuk pada prinsip stimulus- respons, yakni memberi dan menerima informasi. Rancangan program pengajaran untuk mengembangkan keterampilan berbicara antara lain:
a) Aktivitas mengembangkan keterampilan bicara secara umum
b) Aktifitas mengembangkan bicara secara khusus untuk membentuk model diksi da ucapan, dan mengurangi penggunaan bahas nonstandard
c) Aktifitas mengatasi masalah yang meminta perhatian khusus:
  • Peserta didik menggunakan bahasa ibunya sangat dominan
  • peserta didik yang mengalami problema kejiwaan, pemalu dan tertutup
  • Peserta didik yang menderita hambatan jasmani yang berhubungan dengan alat-alat bicaranya.
Program pengajaran keterampilan berbicara harus mampu memberikan kesempatan kepada setiap individu mempunyai tujuan yang dicita-citakan. Tujuannya, meliputi:
1) Kemudahan berbicara
2) Kejelasan
3) Bertanggung jawab
4) Membentuk pendengaran yang kritis
5) Membentuk kebiasaan
Pemilihan strategi atau gabungan metode dan teknik pembelajaran terutama didasarkan pada tujuan dan materi yang telah ditetapkan pada satuan-satuan kegiatan belajar. Dalam hal tersebut keterlibatan intelektual peserta didik dapat dilatih dalam kegiatan antara lain: bermain peran, berbagai bentuk diskusi, wawancara, bercerita, pidato, laporan lisan, membaca nyaring, merekam bicara, bermaian drama.


D. Teknik-teknik Pembelajaran Keterampilan Berbicara
1) Berbicara terpimpin
  • Frase dan kalimat
  • Satuan paragraph
  • Dialog
  • Pembacaan puisi
2) Berbicara semi terpimpin
  • Reproduksi cerita
  • Cerita berantai
  • Menyusun kalimat dalam pembicaraan
  • Melaporkan isi bacaan secara lisan
3) Berbicara bebas
  • Diskusi
  • Drama
  • Wawancara
  • Berpidato
  • Bermain peran
Berdasarkan tingkatatan berbicara, teknik pembelajaran untuk
  • tingkat pemula dapat digunakan:
Ulang ucap, lihat ucap, permainan kartu kata, wawancara, permainan memori, reka cerita gambar, biografi, manajemen kelas, bermain peran, permainan telepon, dan permainan alfabet.
  • Tingkat menengah
Dramatisasi, elaborasi, reka derita gambar, biografi, permainan memori, wawancara, permainan kartu kata, diskusi, permainan telepon, percakapan satu pihak, pidato pendek, parafrase, melanjutkan cerita, permainan alfabet.
  • Tingkat yang paling tinggi
Dramatisasi, elaborasi, reka cerita gambar, biografi, permainan memori, diskusi, wawancara, pidato, melanjutkan cerita, talk show, parafrase, dan debat.



*) Tulisan ini ditulis oleh Dewi Rohmah bersumber pada:


Senin, 02 April 2012

Pemerolehan Bahasa Kedua


PROSES PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA
oleh Yessy Hermawati

I. Pendahuluan

Setiap individu dianugrahi kemampuan berbahasa. Bahasa tersebut diperoleh, diwarisi dan ditumbuhkembangkan dari waktu ke waktu. Setiap manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi dan alat untuk berinteraksi antara sesamanya.
Sejak lahir manusia telah memiliki kemampuan dan kesiapan untuk memperoleh dan mempelajari bahasa. Hal ini terlihat bahwa manusia tidak memerlukan banyak usaha untuk mampu berbicara. Orang yang dalam jangka waktu cukup lama terus menerus mendengar pengucapan suatu bahasa, biasanya ia akan mampu mengucapkan bahasa tersebut tanpa instruksi khusus atau direncanakan. Bahkan banyak peneliti mengenai penguasaan bahasa meyakini bahwa anak-anak dari berbagai konteks sosial yang luas mampu menguasai bahasa Ibu mereka tanpa terlebih dahulu diajarkan secara khusus dan tanpa penguatan yang jelas (Rice:1993 dalam Desmita,2007:1120) .
Pada tahap awal perkembangannya manusia mulai masuk dalam tahap pemerolehan bahasa Ibu atau bahasa pertama yaitu proses pemerolehan bahasa yang pertama kali dikenal manusia, biasanya terjadi anata ibu dan anak, bisa diikuti anggota keluarga yang lainya dan dilakukan secara lisan di lingkungan keluarga secara tidak formal. Pemerolehan bahasa Ibu atau bahasa pertama ini terjadi secara sadar dan alamiah pada tataran keterampilan menyimak dan berbicara. Pemerolehan bahasa pertama bertujuan untuk komunikasi antara Ibu dan anak bahkan dengan keluarga serta lingkunan sekelompoknya pada masa waktu tertentu (anak-anak awal).
Setelah seseorang memperoleh bahasa pertama dan telah mampu berinteraksi dengan lingkungan sosial di luar keluarga dan kelompoknya. Individu tersebut butuh menguasai bahasa lainnya dalam hal ini disebut bahasa kedua. Kebutuhan pemerolehan bahasa kedua muncul karena seseorang memerlukan bahasa baru untuk dapat berkomunikasi dan menyesuaikan diri di lingkungan sosial yang lebih besar, selain itu juga terdapat alasan imigrasi, kebutuhan perdagangan,ilmu pengetahuan dan pendidikan. Istilah bahasa kedua juga digunakan untuk mengambarkan bahasa-bahasa apa saja yang pemerolehanya atau pengusaannya dimulai setelah masa anak-anak awal, termasuk bahasa ketiga atau bahasa asing lainnya.
Untuk memahami tahap pemerolehan bahasa kedua pada suatu individu. Maka, penulis mencoba menulis makalah ini yang berjudul "Proses Pemerolehan Bahasa Kedua". Dalam makalah ini akan diterangkan pengertian, latar belakang serta tahapan pemerolehan bahasa kedua.

II. Pengertian Pemerolehan Bahasa Kedua

Sebelum memahami pengertian pemerolehan bahasa kedua, pertama yang harus dipahami adalah arti dari istilah pemerolehan bahasa. Ada beberapa pengertian pemerolehan bahasa yaitu:
  1. Menurut Wikipedia, pemerolehan bahasa adalah proses manusia mendapatkan kemampuan untuk menangkap, menghasilkan, dan menggunakan kata untuk pemahaman dan komunikasi. Kapasitas ini melibatkan berbagai kemampuan seperti sintaksis, fonetik, dan kosakata yang luas. Bahasa yang diperoleh bisa berupa vokal seperti bahasa lisan atau manual seperti pada bahasa isyarat. Pemerolehan bahasa biasanya merujuk pada pemerolehan bahasa pertama yang mengkaji pemerolehan anak terhadap bahasa ibu mereka dan bukan pemerolehan bahasa kedua yang mengkaji pemerolehan bahasa tambahan oleh anak-anak aytau orang dewasa. (http://id.wikipedia.org/wiki/pemerolehan bahasa)
  2. Menurut McGraw (1987, dalam Sabarti A.,dkk,1997:1.3) Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa yang pertama, mengatakan bahwa pemerolehan bahasa mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, mengatakan bahwa pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.
  3. Menurut Dardjowidjojo,2008, istilah pemerolehan dipakai untuk menerjemahkan bahasa Inggris, aquesition yang diartikan sebagai proses penguasaan bahasa secara alami dari seorang anak saat ia belajar bahasa ibunya.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang pemerolehan bahasa maka pemerolehan bahasa juga dapat diartikan sebagai proses mendapatkan bahasa terutama bahasa ibunya secara sadar dan alamiah.
Selain makna pemerolehan bahasa,yang kedua adalah makna bahasa kedua, dalam (blog,4/3/2011) bahasa kedua adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari oleh seseorang di luar lingkungan kelompok masyarakatnya dinamakan bahasa asing yang apabila dipelajari orang tersebut akan menjadi bahasa kedua. Dalam (blog, 9/6/2009) bahasa kedua adalah sebuah bahasa lain yang dikuasai seseorang setelah terlebih dahulu ia menguasai batas tertentu bahasa pertama. Bahasa kedua juga dapat diartikan sebagai bahasa yang harus dikuasai seseorang yang digunakan untuk alat komunikasi umum dan bahasa-bahasa asing yang harus dikuasai untuk tujuan-tujuan tertentu.
Setelah memahami makna pemerolehan bahasa dan bahasa kedua maka selanjutnya dapat dipahami apa yang dimaksud dengan pemerolehan bahasa kedua. Ada beberapa pengertian terhadap pemerolehan bahasa kedua yaitu:
  1. Menurut Wikipedia, pemerolehan bahasa kedua adalah proses seseorang belajar bahasa kedua disamping bahasa ibu mereka. Pemerolehan bahasa kedua merujuk kepada apa yang siswa lakukan dan tidak merujuk pada apa yang guru lakukan.
  2. Menurut Chaer A. dan Agusitina,2004. Pemerolehan bahasa kedua atau bilingualisme adalah rentangan bertahap yang dimulai dari menguasai bahasa pertama (B1) ditambah mengetahui sedikit bahasa kedua (B2), lalu penguasaan B2 meningkat secara bertahap, sampai akhirnya menguasai B2 sama baiknya denganB1.
  3. Menurut Akhadiah, S., dkk dalam (1997:2.2) pemerolehan bahasa kedua adalah proses saat seseorang memperoleh sebuah bahasa lain setelah lebih dahulu ia menguasai sampai batas tertentu bahasa pertamanya.
Maka, pemerolehan bahasa kedua merupakan proses atau tahapan untuk memperoleh dan belajar bahasa baru setelah menguasai bahasa pertama atau bahasa ibu dengan tujuan tertentu sehingga dapat menguasai bahasa kedua sebaik bahasa pertamanya.

III. Proses Pemerolehan Bahasa Kedua

Stren (1983 dalam Akhadiah, S., dkk ,1997:2.2) menyamakan istilah bahasa kedua dengan bahasa asing. Tetapi bagi kondisi di Indonesia kita perlu membedakan istilah bahasa kedua dengan bahasa asing. Bagi kondisi di first languange yang berwujud bahasa daerah tertentu, bahasa kedua second languange yang berwujud bahasa Indonesia atau bahasa asing (foreign languange). Bahasa kedua biasanya merupakan bahasa resmi di negara tertentu. Oleh sebab itu bahasa kedua sangat diperlukan untuk kepentingan politik, ekonomi, dan pendidikan.(Pateda:1990)
Dalam (Chaer,A. dan Agustina: 2004) menerangkan bahwa pada umumnya bahasa pertama seorang anak Indonesia adalah bahasa daerahnya masing-masing karena bahasa Indonesia baru dipelajari ketika anak masuk sekolah dan ketika ia sudah menguasai bahasa ibunya. Dibandingkan dengan pemerolehan bahasa pertama, proses pemerolehan bahasa kedua tidak linear. Menurut Krashen seperti yang dikutip oleh sebuah blog, untuk anak-anak, bahasa kedua adalah hal yang lebih banyak dipelajari daripada diperoleh. Bila dilihat dari proses dan pengembangan bahasa kedua ada dua cara yang dijelaskan oleh hipotesis pembedaan dan pemerolehan dan belajar bahasa dalam (Akhadia, S.,dkk,1997:2.3) yaitu:
  1. Cara pertama dalam pengembangan bahasa kedua adalah pemerolehan bahasa yang merupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak mengembangkan kemampuan dalam bahasa pertama mereka. Hasil atau akibat pemerolehan bahasa, kompetensi yang diperoleh bawah sadar. Cara-cara lain memerikan pemerolehan termasuk belajar implisit, belajar informal dan belajar alamiah. Dalam bahasa nonteknis sering disebut pemerolehan "memunggut"bahasa.
  2. Cara kedua dalam pengembangan bahasa kedua adalah dengan belajar bahasa, yang mengacu pada pengetahuan yang sadar terhadap bahasa kedua, mengetahui kaidah-kaidah, menyadari kaidah-kaidah dan mampu berbicara mengenai kaidah-kaidah itu yang oleh umum dikenal dengan tata bahasa. Beberapa sinonim mencakup pengetahuan formal mengenai suatu bahasa atau belajar eksplisit.
Beberapa pakar teori belajar bahasa kedua beranggapan bahwa anak-anak memperoleh bahasa, sedangkan orang dewasa hanya dapat mempelajarinya. Akan tetapi hipotesis pemerolehan-belajar menuntut orang-orang dewasa juga memperoleh, bahwa kemampuan memungut bahasa tidaklah hilang pada masa puber. Hipotesa diatas dapat menjelaskan perbedaan pemerolehan dan belajar bahasa, Krashen dan Terrel (1983, dalam Akhadiah, dkk,1997:2.3) menegaskan perbedaan keduanya dalam lima hal:
  1. Pemerolehan memiliki ciri-ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama seorang anak penutur asli sedangkan belajar bahasa adalah pengetahuan secara formal.
  2. Pemerolehan dilakukan secara bawah sadar sedangkan pembelajaran adalah proses sadar dan disengaja.
  3. Pemerolehan seorang anak atau pelajar bahasa kedua belajar seperti memungut bahasa kedua sedangkan dalam pembelajaran seorang pelajar bahasa kedua mengetahui bahasa kedua.
  4. Dalam pemerolehan pengetahuan didapat secara implisit sedangkan dalam pembelajaran pengetahuan didapat secara eksplisit
  5. Pemerolehan pengajaran secara formal tidak membantu kemampuan anak sedangkan dalam pembelajaran pengajaran secara formal hal itu menolong sekali.
Dalam pemerolehan bahasa pertama atau bahasa kedua ada landasan teoritis atau pandangan terhadap pemerolehan bahasa yaitu pertama, pandangan nativistis, pandangan ini diwakili oleh Noam Chomsky. Menurut pandangan ini bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia.Perilaku bahasa adalah sesuatu yang diturunkan. Hakikatnya, pola perkembangan bahasa adalah sama pada berbagai macam bahasa dan budaya (universal). Kedua, pandangan behavioritis yang diwakili oleh B.F. Skinner. Kaum behavioritis menganggap bahasa sebagai suatu yang kompleks di antara prilaku-prilaku lain. Dalam hal ini mereka menggunakan istilah "prilaku verbal". Kemampuan berbicara dan memahami bahasa diperoleh melalui rangsangan lingkungan. Perkembangan perilaku verbal (yaitu bahasa) terutama ditentukan oleh lamanya latihan yang disodorkan lingkungannya. Menurut pandangan Skinner (1969), anak dapat menguasai bahasa melalui peniruan. Ketiga, pandangan kognitif dalam hal ini diwakili oleh Jean Peaget. Bagi kognitif bahasa bukan ciri alamiah yang terpisah melainkan satu diantara beberapa kemampuan yang berasal dari pematangan kognitif. Peaget juga beranggapanbahwa lingkungan tidak besar pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual anak, yang penting adalah interaksi anak dengan lingkungannya.
Selain ketiga pandangan itu, masih ada pandangan lain yang dikemukakan oleh Krashen dan Terrel (Akhadiah,dkk,1997:2.5) yang memmbagai dua cara pemerolehan bahasa kedua yaitu:
  1. Pemerolehan bahasa kedua secara terpimpin
    Di dalam pemerolehan bahasa kedua secara terpimpin berarti pemerolehan bahasa kedua yang diajarkan kepada pelajar dengan menyajikan materi yang sudah dipahami. Ciri-ciri pemerolehan bahasa kedua secara terpimpin,(1) materi tergantung kriteria yang ditentukan oleh guru, (2)Strategi yang dipakai oleh seorang guru juga sesuai dengan apa yang dianggap paling cocok untuk siswanya. Dalam pemerolehan bahasa secara terpimpin, apabila penyajian materi dan metode yang digunakan dalam belajar teppat dan efekktif maka ini akan berhasil dan menguntungkan pelajar dalam pemerolehan bahasa keduanya. Namun, sering ada ketidakwajaran dalam penyajian materi terpimpin ini, misalnya penghafalan pola-pola kalimat tanpa pemberian latihan-latihan bagaimana penerapan itu dalam komunikasi.
  2. Pemerolehan bahasa kedua secara alamiah
    Pemerolehan bahasa kedua secara alamiah atau secara spontan adalah pemeroleh bahasa kedua yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari, bebas dari pengajaran atau pimpinan guru. Pemerolehan bahasa seperti ini tidak ada keseragaman karena setiap individu memperoleh bahasa kedua dengan caranya sendiri. Yang paling penting dalam cara ini adalah interaksi dan komunikasi yang mendorong pemerolehan bahasa kedua. Ciri-ciri pemerolehan bahasa kedua secara alamiah adalah (1) yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari,(2) bebas dari pimpinan sistematis yang disenggaja.

IV. Pemerolehan Bahasa Kedua dan Bilinguaisme

Bilingualisme adalah istilah yang erat kaitannya dengan pemerolehan bahasa kedua. Seperti kata Diebold dalam Chaer dan Agustina (2004) menyatakan bahawa bilingualisme pada tingkat awal atau disebut incipient bilingualism adalah bilingualisme yang dialami oleh orang-orang, atau lebih spesifiknya anak-anak, yang sedang mempelajari bahasa kedua pada tahap awal. Selanjutnya bilingalisme itu sendiri adalah rentangan bertahap yang dimulai dari menguasai bahasa pertama (B1) ditambah mengetahui sedikit akan bahasa kedua(B2), lalu penguasaan bahasa kedua (B2) meningkat secara bertahap, sampai pada akhirnya menguasai bahasa kedua sama (B2) sama baiknya dengan bahasa pertama (B1).
Istilah lain yang setara dengan bilingualisme adalah kedwibahsaan. Istilah ini digunakan oleh Tarigan,yang berarti orang yang dapat berbicara dengan lancar secara bergantian dalam dua bahasa atau lebih. Tarigan dalam (2009:5) mengkasifikasikan kedwibahasaan dengan berbagai cara, berdasarkan beberapa sudut pandang, beberapa diantaranya antara lain:

a. Berdasarkan hipotesis ambang
Hipotesis ini dikemukakan oleh Cummins (1976) dapat dibedakan:
  1. Kedwibahasaan subtraktif (subtractive bilingualism)
    Apabila bahasa asli seseorang anak yang minoritas digantikan sampai taraf tertentu oleh bahasa mayoritas, maka hal ini mengandung efek subtraktif (akibat pengurangan) pada seorang anak (Grittner [ed],1980:125). Dengan kata lain dalam kdwibahasaan subtraktif , yang menghilangkan atau mengembangkan kecakapan yang terbatas saja pada bahasa pertama (B1), mungkin saja mengakibatkan defisiensi (kekurangan) kognitif pada bahasa kedua (B2).
  2. Kedwibahasaan aditif (additive bilingualism)
    Dalam kedwibahasaan aditif, yang merupakan wadah bahasa pertama (B1) seseorang anak merupakan bahasa mayoritas atau dominan dalam kebudayaan, maka pemakaian dan pemerolehan sesuatu bahasa kedua (B2) merupakan suatu prestasi tambahan bagi seorang anak dan belajar kognitifnya pun menjadi lebih jelas (Grittner[ed], 1980:126).

b. Berdasarkan tahap usia pemrolehan
Berdasarkan tahapan usia seseorang memperoleh bahasa kedua (B2) yang membuatnya menjadi seorang dwibahasawan, maka dapat dibedakan empat jenis kedwibahasaan, yaitu:
  1. Kedwibahasaan masa kecil (infant bilingualism)
    Dalam kedwibahasaan masa kecil yang ditekankan adalah bahwa kenyataan seorang bayi bergerak atau beranjak dari yang "tidak bisa berbicara sama sekali" menuju ke "berbicara dua bahasa". Di antara keluarga-keluarga yang pernah diobservasi dan diwawancarai oleh para ahli, justru hal ini merupakan salah satu yang paling umum dan tipe kedwibahasaan yang paling berhasil (Harding&Riley, 1986:40).
  2. Kedwibahasaan masa kanak-kanak (Child bilingualism)
    Secara definisi, mencakup pemerolehan suksesif dua bahasa. Selama penyebab paling umum pemerolehan suksesif ini adalah perpindahan keluarga ke daerah atau negara lain, maka hal itu seringkali mempunyai hubungan erat dengan masa sulit adaptasi atau penyesuaian dalam kehidupan seorang anak dan jelas sekali ini juga mencakup belajar bahasa tersebut.
  3. Kedwibahasaan masa remaja (adolesence bilungalism) adalah suatu istilah yang dipakai mengacu kepada orang-orang yang menjadi dwibahasawan "setelah masa pubertas".
  4. Kedwibahasaan masa dewasa (adult bilingualism)
    Itilah ini mengacu kepada orang-orang yang menjadi dwibahasawan setelah usia mereka belasan tahun.
c. Berdasarkan usia belajar bahasa kedua (B2)
Ditinjau dari segi usia seseorang belajar bahasa kedua, maka dapat dibedakan:
  1. Kedwibahasaan serentak (simultaneous bilingualism)
    Dalam kedwibahasaan serentak ini para pemeroleh atau seorang anak mempelajari bahasa pertama dan bahasa kedua secara serentak; hampir dikatakan tidak ada jarak antara pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Hal ini dilakukan pada masa kecil atau pada masa anak-anak, sehingga biasa juga disebut kedwibahasaan awal atau kedwibahasaan dini. Contohnya, sebelum usia tiga tahun, jalur perkembangannya dengan anak monolingual memperoleh bahasa. Tetapi ada beberapa ketidaksetujuan dalam literatur tentang hasil emampuan bilingual yang lebih rendah dalam perkembangan kosakata, dibandingkan dengan anak yang mempelajari bahasa tunggal. Ketika anak memeroleh dua bahasa dan menjadi bilingual, salah satu bahasa mendominasi yang lainnya. Ini adalah hal yang normal. Hal yang jarang terjadi ketika dua bahasa menjadi seimbang di dalam perkembangannya.
  2. Kedwibahasaan berurutan (Sequential bilingualism)
    Dalam kedwibahasaan berurutan jelas terlihat jarak antara pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Seorang pemeroleh atau seorang dwibahasawan mula-mula belajar atau memperoleh bahasa pertama (B1), baru kemudian disusul dengan bahasa kedua (B2). Pada perkembangan ini , dasar-dasar bahasa pertama telah dikuasai, namun selanjutnya mereka harus mempelajari tata bahasa, perbendaharaan kata, dan sintaksis yang spesifik dari sebuah bahasa yang baru. Dalam harl ini nampak urutan yang nyata dalam pemerolehan bahasa.

V. Perbedaan Cara Pemerolehan Bahasa Pertama Dengan Cara Pemerolehan Bahasa Kedua.

Dari berbagai pandangan dan cara yang diterapkan dalam pemerolehan bahasa kedua, dapat terlihat tidak ada cara yang mudah untuk menjelaskan mengapa seseorang dapat dengan mudah menguasai bahasa kedua dan mengapa yang lain tidak. Pemerolehan bahasa kedua dipengaruhi oleh latar belakang usia, pendidikan, sosial, identitas individual, kepribadian, motivasi dan hal lainya.

Secara umum, proses pemerolehan bahasa kedua lebih mengacu pada mengajar-belajar bahasa asing atau bahasa lainnya. Di antara sekian banyak faktor yang dapat kita temui di dalam kelas ada tiga faktor penting dan mendasar, yaitu:
  1. Faktor orang
    Terkandung makna bahwa hal ini merupakan proses sosila belajar yang utama. pemerolehan bahasa kedua terjadi dalam hubungan antarpribadi, anatara guru dan sekelompok siswa, dan juga hubungan siswa itu sendiri
  2. Faktor interaksi dinamis
    Berarti orang-orang yang dilahirkan dan tumbuh dalam bahasa asing atau bahasa kedua. Hubungan mereka akan berubah kalau mereka berkembang dalam bahasa. "Interaksi dinamis" berarti bahwa guru memberikan atau menyediakan pengalaman-pengalaman belajar yang bermanfaat yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan para siswa dalam berbagai tahap perkembangan mereka. .
  3. Faktor responsi
    Yaitu belajar bahasa juga merupakan responsi oleh para siswa (lavorge,1980:vii-viii)
Dalam sebuah blog dinyatakan bahwa ada tiga komponen yang menentukan proses pemerolehan bahasa kedua yaitu prospebsity (kecenderungan), languange faculty (kemampuan berbahasa), dan acsess (jalan masuk) ke bahasa. Dan dalm sebuah hipotesi pun terdapat susunan yang agak stabil mengenai pemerolehan struktur dalam pemerolehan bahasa,yaitu seseorang dapat melihat kesamaan-kesamaan yang jelas antara sesama pemeroleh, seperti struktur-struktur mana yang diperoleh mula-mula dan mana pula yang diperoleh kemudian (Brown,1973;Dullay&Burt,1975;Akhadiah,dkk,1997:2.7).
Lalu, yang dapat ditemui tentang perbedaan pemerolehan bahasa pertama dan kedua adalah:
  1. Pengusaan kemampuan bahasa
    Dalam pemerolehan bahasa pertama, penguasaan kemampuan berbahasa berlaku secara bertahap. Contohnya; mulai dari mengeluarkan bunyi, kemudian mencantumkan unit bunyi atau silabi, menjadi kata, setelah itu menjadi kata dalam berupa ungkapan atau kalimat. Sedangkan dalam pemerolehan bahasa kedua adalah merupakan peoses yang mekanis yang membentuk sikap baru yaitu kemampuan berbahasa yang baru melalui memungut bahasa dan latihan-latihan yang diberikan untuk membentuk kebiasaan berbahasa melalui belajar bahasa.
  2. Penguasaan aspek bahasa
    Dalam pemerolehan bahasa pertama setiap kemampuan berbahasa dapat dikuasai dengan cara yang perlahan. Cara ini memperlihatkan bahwa beberapa aspek bahasa dapat dikuasai secara sekaligus, contohnya bahasa mememiliki tataran dan aturan, semuanya itu dapat dikuasai secara serentak oleh anak-anak umpamanya bunyi, kata, makna, dan penggunaanya dalam kalimat sekaligus. Sedangkan dalam pemerolehan bahasa kedua, penguasaan kemampuan bahasa kedua melalui tahapan-tahapan yang tidak bida sekaligus yakni dimulai dengan kemampuan menyimak atau mendengar, kemudian berbicara, membaca, dan menulis.
  3. Penggunaan bahasa
    Dalam pemerolehan bahasa pertama, seorang anak memperoleh bahasa tanpa mengkaji tata bahasa untuk menggunakan dan menguasai bahasa tersebut. Sementara dalam pemerolehan bahasa kedua, seseorang anak akan ada pada tahapan belajara bahasa untuk menyempurnakan pemerolehan bahasa kedua memlalui latihan-latihan dan belajar mengenai kaidah-kaidah atau tata bahasa tersebut.
  4. Pelaku dalam pemerolehan bahasa
    Dalam pemerolehan bahasa pertama atau yang dikenal dengan bahasa ibu, bahasa diperoleh melalui interaksi ibu dan anak serta anggota keluarga atau kelompok. Sedangkan dalam pemerolehan bahasa kedua terjadi diperoleh dalam lingkungan sosial yang lebih besar atau kelompok baru diluar keluarga atau kelompok lainnya, memalau memunggut dan belajar bahasa.
  5. Cara pemerolehan
    Dalam pemerolehan bahasa pertama melalui proses yang tidak forma, sedangkan pemerolehan bahasa kedua melalui cara alamiah dan cara formal.
  6. Fungsi pemerolehan bahasa
    Dalam pemerolehan bahasa pertama berfungsi sebagai pemerolehan bahasa untuk tujuan berkomunikasi seeorang atau anak dengan ibu, keluarga atau kelompok kecil terdekatnya, dan juga sebagai kemampuan anak untuk menciptakan identitas budaya yang kuat. Sedangkan pemerolehan bahasa kedua biasanya berfungsi sebagai alat komunikasi umum, untuk menyesuaikan diri terhadap lingkuangan dan tujuan tertentu, seperti ilmu pengetahuan, pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Demikianlah pembahasan mengenai proses pemerolehan bahasa kedua, yang dimulai dari pengertian, cara, dan juga istilah-istilah yang terkait didalamnya serta perbedaan dalam pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua.




VI. Simpulan

Pemerolehan bahasa kedua merupakan proses atau tahapan untuk memperoleh dan belajar bahasa baru setelah menguasai bahasa pertama atau bahasa ibu dengan tujuan tertentu sehingga dapat menguasai bahasa kedua sebaik bahasa pertamanya. Ada berbagai cara dan pandangan dalam proses pemerolehan bahasa kedua yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Bagi sebagian besar anak Indonesia , bahasa Indonesia bukanlah bahasa pertama mereka melainkan bahasa kedua atau ketiga.
  2. Penguasaan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua dapat terjadi melalui proses pemerolehan atau proses belajar.
  3. Proses pemerolehan terjadi secara alamiah, tanpa sadar, melalui interaksi tidak formal dengan orang tua dan atau teman sebaya tanpa bimbingan
  4. Proses belajar terjadi secara formal, disengaja, melalui interaksi edukatif, ada bimbingan dan dilakukan dengan sadar.
  5. Bahasa pertama dan bahasa kedua didapat bersama-sama atau dalam waktu yang berbeda.
  6. Bahasa kedua dapat diperoleh dilingkungan bahasa pertama dan lingkungan bahasa kedua.











DAFTAR PUSTAKA

Akhadiah,S.,dkk.1997.Teori Belajar Bahasa.Jakarta:Universitas Terbuka
Chaer, Abduld & Agustina, Leonie.2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal.Jakarta: Rineka Cipta.
Darjowidjojo, Soejono.2008.Psikolinguistik:Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia .
Deswita.2007.Psikologi Perkembangan.Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ghazali, A.Syukur.2010.Pembelajaran Keterampilan Berbahasa.Bandung: Refika Aditama.
Tarigan.2009.Pengajaran Kedwibahasaan.Bandung: Angkasa .
http://pakdesofa.wordpress.com/ diakses tanggal 10 Oktober 2011.
http://abdiplizz.wordpress.com/2011/03/04/pemerolehan bahasa kedua/ diakses tanggal 10 Oktober 2011.
http://panglimaw1.blogspot .com/2011/03/proses pemerolehan bahasa dan htm/ diakses tanggal 10 Oktober 2011.
http://putriaida.worpress.com/2010/05/14/pemerolehan-bahasa kedua/ di akses tanggal 10 Oktober 2011.



Penelitian Sosiolinguitik


PENGARUH LATARBELAKANG SUKU DAN KARAKTER
TERHADAP DIKSI PADA STATUS DI FACEBOOK
oleh Yessy Hermawati

ABSTRAK
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa dampak pada semakin bervariasinya bahasa yang digunakan dalam komunikasi antar manusia. Salah satu media informasi tersebut adalah situs jejaring sosial Facebook. Kegiatan dalam facebook tersebut merupakan salah satu wujud nyata penggunaan bahasa di masyarakat. Untuk itu penulis tertarik untuk memahami bahasa facebook dan hal-hal lain yang mempengaruhi bahasa tersebut.
Penulis melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Latar Belakang Suku dan Karakter terhadap diksi pada status di Facebook”. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan karakteristik penggunaan bahasa pada status facebook akun penulis,(2) mendeskripsikan pengaruh pilihan kata (diksi) terhadap penggunaan bahasa pada status facebook akun penulis, (3) mendeskripsikan pengaruh latar belakang suku dan karakter terhadap diksi pada status facebook akun penulis, (4) mengetahui hubungan latar belakang suku dan karkter terhadap diksi pada status facebook akun penulis. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Data penelitian adalah bahasa tulis yang berupa satuan lingual yang terdapat pada akun facebook. Sumber data dalam penelitian ini adalah status facebook pada tiga akun mahasiswa prodi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia Uninus pada 25 Oktober sampai 25 November 2011 sebanyak 14 status pada masing akun serta keterangan-keterangan yang diperlukan. Teknik pengumpulan data berupa teknik observasi, teknik catat, teknik telaah dokumen, dan teknik wawancara.
Dari analisis data pada penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa (1) pada status facebook tersebut terdapat berbagai jenis karakteristik penggunaan bahasa yaitu: (a) adanya perubahan huruf sebagai variasi penulisan;(b) Penghilangan huruf dalam penulisan kata;(c) Adanya singkatan dan akronim;(d) Kata fatis;(e) Kata Prokem.(f) Penyisipan kosa kata asing;(g) Penggunaan Emotikon, (2) semakin banyak jenis karakteristik diksi pada bahasa facebook digunakan dalam satu status, semakin sulit pembaca untuk memahami makna pada satuan lingual yang ditulis .Pilihan diksi pada status mempengaruhi kesantunan bahasa. (3) latar belakang suku juga dapat mempengaruhi pilihan kata pengguna facebook dalam membuat status pada facebook.(4) bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Pikiran merupakan penbentuk utama sebuah karakter. Karakter seseorang akan mempengaruhi prilaku bahasanya terutama dalam menggunakan diksi dalam bahasanya. Diksi yang digunakan selalu sesuai dengan karakternya dan karakter pun dapat dilihat dari diksi atau bahasa yang digunakan.

Kata Kunci: Bahasa facebook, diksi, suku dan karakter.

KATA KERJA


KATA KERJA DALAM BAHASA INDONESIA


oleh:
Yessy Hermawati 41032121101051



A. Pendahuluan
Definisi kata dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Di antaranya ada tiga sudut pandang yang umum digunakan untuk mendifinisikan kata. Pertama, posisi kata secara gramatikal, kata dapat diartikan sebagai satuan gramatikal terkecil yang dapat terdiri dari satu atau lebih morfem yang menjadi unsur pembentuk suatu frasa atau kalimat.
Kedua, dari bahasa lisan atau fonem, kata dapat diartikan sebagai deretan bunyi yang memiliki arti yang diucapkan dalam satu kecapan. Ketiga, dari bahasa tulis, kata dapat diartikan sebagai deretan huruf yang memiliki arti yang penulisannya dalam kalimat dibatasi oleh spasi.
Dalam bahasa Indonesia ada pengelompokan kata dalam bentuk kelas kata. Para pakar bahasa pun mengelompokkan kelas kata berdasarkan sudut pandangnya masing-masing. Beberapa pakar bahasa yang menyatakan teori tentang kelas kata antara lain: Gorys Keraf, Harimukti Kridalaksana, Hasan Alwi,dkk., dan lain sebagainya.
Gorys Keraf dalam (Putrayasa,2010:85) membagi kelas kata berdasarkan struktur morfologisnya. Struktur morfologis adalah bidang bentuk yang memberi ciri khusus terhadap kata-kata. Berdasarkan struktur morfologis Keraf membagi kelas kata menjadi empat kelas kata yakni, kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata tugas.
Menurut Harimukti Kridalaksana (1994, dalam Putrayasa, 2010:45) membagi kelas kata menjadi tiga belas kelas kata yaitu: verba, ajektiva, nomina, promina, numerilia, adverbia, interogativa, demonstrativa, artikula, preposisi, konjungsi, dan kategori fatis.
Berbeda dengan pakar sebelumnya, dalam buku Tata Bahasa baku Bahasa Indonesia, Alwi (1998) membagi kelas kata dalam lima kelas kata yakni kata benda (nomina), kata kerja (verba), kata sifat (ajektiva), kata keterangan adverbia, dan kata tugas. Sementara Arifin, Z. dan Junaiyah (2009:939) menerangkan kelas kata dalam empat kategori yaitu kategori verba, adjektiva, adverbia, dan nomina.
Kata kerja atau verba dalam bahasa Indonesia juga memiliki jenis-jenis dan ciri-ciri yang membedakannya dengan kelas kata lainnya. Makalah ini mencoba memaparkan tentang "Kata Kerja Dalam Bahasa Indonesia" berdasarkan teori Gorys Keraf dan pakar lainnya.

B. Pembahasan.
Secara umum kita mengenal kata kerja sebagai kata yang menyatakan suatu tindakan, keberadaan, pengalaman, atau pengertian dinamis lainnya. Jenis kata ini biasanya menjadi predikat dalam suatu frasa atau kalimat. Dalam buku Morfologi, Arifin dan Junaiyah (2009:93) menyatakan bahwa verba atau kata kerja dapat diketahui lewat prilaku semantis dan sintaksis serta bentuk morfologisnya. Pada umumnya verba atau kata kerja memiliki ciri sebagai berikut:
  1. Verba berfungsi sebagai predikat atau inti predikat kalimat , seperti: (a) Pagi-pagi sekali mereka telah berlari keliling lapangan. (b) kami sedang bermain bola. (c) Bom meledak di Kuta. Kata bermain, sedang berlari, dan meledak pada contoh kalimat berfungsi sebagai predikat; kata bermain pada sedang bermain merupakan inti predikat. Verba juga dapat berfungsi lain di luar predikat.
  2. Secara inheren, verba mengandung makna 'perbuatan (aksi), proses, atau keadaan yang bukan sifat atau bukan kualitas'.
  3. Verba yang bermakna keadaan tidak dapat diberi prefiks ter- untuk menyatakan makna 'paling'.
  4. Secara umum, verba tidak dapat bergabung dengan kata penunjuk kesangatan.
B.1. Kata Kerja versi Gorys Keraf
Menurut Gorys Keraf dalam (Putrayasa, 2010:87) sebuah kata dapat dikatakan kata kerja atau tidak haruslah melalui dua prosedur, yaitu (a) Melihat dari segi bentuk sebagai prosedur pencalonan. (b) Melihat dari segi kelompok kata (frasa) sebagai prosedur penentuan.
  1. Bentuk
    Semua kata yang mengandung imbuhan me-, ber-, -kan, di-, -i,-kan dicalonkan menjadi kata kerja. Akan tetapi, terdapat sejumlah kata kerja yang tidak mengandung unsur-unsur tersebut tetapi secara tradisional masuk ke dalam golongan kata kerja seperti tidur, bangun, datang, pergi, terbang, turun, naik, mandi makan, minum. Selain ciri-ciri bentuk seperti telah dibahas sebelumnya, kedua macam kata kerja tersebut mempunyai suatu kesamaan struktur dalam kelompok kata.
  2. Kelompok kata
    Semua kata yang tersebut sebelumnya, dalam segi kelompok kata mempunyai suatu kesamaan struktur, yaitu dapat diperluas dengan kelompok kata dengan + kata sifat, misalnya:
    Ria berjalan dengan cepat
    Handayani menyanyi dengan riang
    Anak itu tertidur dengan nyenyak
Berdasarkan kedua prosedur tersebut Keraf memberi batasan mengenai kata kerja yaitu segala macam kata yang dapat diperluas dengan kelompok kata dengan + kata sifat merupakan kata kerja.
Untuk membuktikan penerapan prosedur menentukan kata kerja Keraf dapat diuji dalam beberapa contoh berikut. Apakah kata jalan, berteriak, membaca, duduk, belajar,berkabung, termasuk dalam kata kerja? Dari enam kata tersebut , kata membaca, berteriak, belajar dan berkabung masuk dalam prosedur bentuk yang menjadikan kata tersebut calon kata kerja, karena kata tersebut mengandung imbuhan ber-,dan me-. Lalu dalam prosedur yang kedua , dari segi kelompok kata, keenam kata tersebut dapat diperluas dengan kelompok kata dengan + kata sifat misalnya:
jalan dengan lebih cepat
berteriak dengan lantang
membaca dengan ekspresif
duduk dengan tenang
belajar dengan tekun
berkabung dengan penuh duka cita
Maka, berdasarkan prosedur Gorys Keraf, keenam kata di atas dapat digolongkan dalam kata kerja. Dapat diamati bahwa kata kerja versi keraf bisa memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Dari segi bentuk dapat mengandung imbuhan me-, ber-, -kan, di-, -i. Ada juga yang tidak mengandung imbuhan.
  2. Kata yang mengandung imbuhan ataupun tidak dapat diperluas dengan kelompok kata dengan + kata sifat.

B.2. Kata Kerja Versi Harimurti Kridalaksana
Menurut Kridalaksana (1994) dalam (Putrayasa 2010:45) verba atau kata kerja adalah subkategori yang memiliki ciri dapat bergabung dengan partikel tidak, tetapi tidak dapat bergabung dengan partikel di, ke, dari, sangat, lebih, atau agak. Selain itu, verba juga dapat dicirikan oleh perluasan kata tersebut dengan rumus V + dengan kata sifat.
Harimukti Kridalaksana dapat mengklasifikasikan kata kerja berdasarkan bentuknya, banyaknya argumen, hubungan verba dan nomina, interaksi nomina dan pendampingnya, referensi argumennya, dan hubungan identifikasi antara argumen-argumennya.
  1. Dari bentuknya
    Verba dapat dibedakan menjadi: (i)verba dasar bebas yaitu verba yang berupa morfem dasar bebas seperti duduk, makan,mandi,dan lain-lain, (ii) verba turunan verba yang telang mengalami proses morfologis.
  2. Dari banyaknya argumen
    Verba dapat dibedakan menjadi: (i) verba intransitif yaitu verba yang menghindarkan objek atau verba yang tidak membutuhkan objek, (ii) verba transitif verba yang harus mendampingi objek.
  3. Dari hubungan verba dan nomina
    Verba dapat dibedakan menjadi Verba aktif yaitu verba yang subjeknya berperan sebagai pelaku. Verba pasif yaitu verba yang subjeknya sebagai penderita, sasaran atau hasil. Verba anti-aktif (ergatif )yaitu verba pasif yang tidak bisa berubah menjadi verba aktif. Verba anti-pasif yaitu verba aktif yang tidak dapat diganti menjadi verba pasif.
  4. Dari referensi argumennya
    Verba ini terdiri dari: (i) verba refleksif yaitu verba yang kedua argumennya mempunyai referen yang sama, (ii) Verba nonreflesif yaitu verba yang kedua argumenya mempunyai referen yang berlainan.
  5. Dilihat dari sudut hubungan identifikasi antara argumen-argumennya
    Verba dapat dibedakan menjadi: (i) verba kopulatif yaitu verba yang mempunyai potensi untuk ditanggalkan tanpa mengubah konstruksi predikatif yang bersangkutan, (ii)Verba ekuatif yaitu verba yang mengungkapkan ciri dari salah satu argumennya.

B.3. Kata kerja menurut Hasan Alwi, dkk.
Dalam (Putrayasa, 2010:71) Hasan alwi menyatakan kata kerja adalah kata yang menyatakan tindakan. Ciri-ciri kata kerja atau verba dapat diketahui dengan mengamati (a) prilaku semantis, (b) prilaku sintaksis, (c) bentuk morfologisnya.
  1. Dari segi prilaku semantis, verba memiliki makna inheren yang terkandung didalamnya. Dalam hal ini verba dapat dibedakan menjadi verba perbuatan, apabila verba tersebut mampu menjawab pertanyaan 'apa yang dilakukan oleh subjek?'. Verba proses yaitu verba yang mampu menjawab pertanyaan 'apa yang terjadi pada subjek?'.
  2. Dari segi prilaku sintaksis
    Verba merupakan unsur yang sangat penting dalam kalimat karena verba berpengaruh besar terhadap unsur-unsur lain yang harus ada dalam kalimat. Perilaku sintaksis berkaitan erat dengan makna dan sifat ketransitifan verba.
    Dari segi sintaksisnya, ketransitifan verba ditentukan dua faktor yaitu (i) adanya nomina yang berdiri dibelakang verba yang berfungsi sebagai objek dalam kalimat aktif, (ii) kemungkinan objek tersebut berfungsi subjek dalam kalimat pasif. Dengan demikian pada dasarnya verba terdiri dari verba transitif dan tak transitif.
  3. Dari bentuk morfologisnya
    Pada dasarnya memiliki dua macam verba, (i) verba asal yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks sintaksis. (ii) verba turunan verba yang harus atau dapat memakai afiks, bergantung pada tingkat keformalan bahasa atau pola sintaksisnya. Verba turunan dibagi menjadi tiga subkelompok, pertama verba yang dasarnya adalah dasar bebas (misalnya darat) tetapi memerlukan afiks agar dapat berfungsi sebagai verba. Kedua, verba yang dasarnya juga bebas juga dapat memiliki afiks. Ketiga, verba yang dasarnya terikat (temu) juga memerlukan afiks (bertemu).
B.4. Teori Kata Kerja Menurut Mansur Muslich
Dalam buku Garis-garis Besar Tata bahasa Baku Bahasa Indonesia, Mansur Muslich (2010:37) menyatakan bahwa verba atau kata kerja berbeda dengan kata lainnya, karena memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
  1. Berfungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat atau juga dapat berfungsi lain.
  2. Bermakna dasar perbuatan, proses, keadaan yang bukan sifat atau kualitas.
  3. Khusus verba yang keadaan tak dapat diberi prefiks ter- yang bermakna paling.
Dari sifat-sifat verba di atas maka Mansur Muslich mengklasifikasikan verba berdasarkan dasar makna (prilaku semantis). Namun Ia juga mengklasifikasikan verba berdasarkan bentuk (bentuk morfologis). Berdasarkan bentuk verba dapat dibedakan menjadi (i) verba asal yaitu verba yang dapat berdiri sendiri seperti datang, mandi, tidur, dan lain-lain. (ii) Verba turunan yang dapat dibagi menjadi verba turunan afiks bebas, verba turunan dasar bebas, verba turunan dasar terikat, verba turunan reduplikasi, verba turunan majemuk.

B.5. Perbandingan Teori Kata Kerja Gorys Keraf dan Teori Pakar Lainnya.
Dari beberapa teori para ahli bahasa di atas dapat kita lihat sifat atau ciri kata kerja menurut masing-masing pakar. Ciri-ciri kategori kata kerja dapat dilihat dari segi bentuk, makna, fungsi, dan juga kelompok kata pendukungnya. Tata bahasa tradisional menentukan ciri setiap kategori berdasarkan arti. Untuk kata kerja tata bahasa tradisional menyatakan sebagai kata yang menyatakan perbuatan. Namun para ahli diatas telah beranjak dari pengertian tata bahasa tradisional, karena kategori kata kerja dapat ditentukan atas beberapa sifat atau ciri dari berbagai sudut pandang.
Gorys Keraf menyatakan sebuah kata adalah kata kerja melalui prosedur yang berbeda dengan para pakar lainnya. Ia membagi kelas kata berdasarkan struktur morfologisnya. Struktur morfologis adalah bidang bentuk yang memberi ciri khusus terhadap kata. Bidang bentuk tersebut meliputi kesamaan morfem yang membentuk kata-kata tersebut atau juga kesamaan ciri atau sifat dalam membentuk kelompok katanya. Untuk kata kerja kesamaan morfem yang menjadi syarat pencalonan kata tersebut sebagai kata kerja adalah kata yang mengandung imbuhan me-, ber-, di-, -kan, -i. Dan apabila ada kata yang tidak mengandung imbuhan, tetapi dapat diperluas dengan kelompok kata yang sama yaitu kata dengan + kata sifat maka kata tersebut digolongkan dalam kata kerja.
Keraf tidak melakukan prosedur penentuan kata kerja melalui sudut pandang sintaksis, semantis, bentuk yang lebih membahas kepada asal terbentuknya kata kerja tersebut. Sementara pakar-pakar lain seperti Hasan Alwi, dan Mansur Muslich bertolak dari sudut pandang tersebut. Selain itu mereka juga melihat dari makna, fungsi,dan posisi kata kerja serta kata yang mengikuti atau mendahului kata kerja.
Harimukti Kridalaksana memiliki persamaan dengan Keraf dalam membuat ciri sebuah kata kerja yaitu sebuah kata dapat dikatan kata kerja apabila dapat diperluas dengan kelompok kata yang sama yaitu dengan + kata sifat. Bahkan Harimukti lebih spesifik menyatakan ciri sebuah kata kerja dengan ciri bahawa kata kerja tidak dapat bergabung denga partikel di, ke, dari, sangat, lebih, dan agak. Selain itu kata kerja dapat bergabung dengan kata tidak.
Gorys keraf menentukan kata kerja hanya melalui dua prosedur tersebut. sementara Pakar lain mengklasifikasikan kata kerja atau verba juga berdasarkan pendekatan semantis, sintaksis, bentuk, dan fungsi.
Dari pemaparan di atas akhirnya dapat kita amati persamaan dan perbedaan teori kata kerja dari beberapa pakar. Persamaan teori kata kerja Gorys Keraf dan pakar lainnya adalah:
  1. Bila Tata Bahasa tradisional menentukan ciri kata kerja berdasarkan arti yaitu yang menyatakan perbuatan. Maka, para ahli di atas menentukan kategori kata kerja berdasarkan sifat, ciri-ciri, atau sudut pandang yang berbeda.
  2. Teori kata kerja Gorys Keraf dan teori kata kerja Harimurti Kridalaksana memiliki kesamaan yaitu kata kerja atau verba dapat diperluas dengan frasa dengan + kata sifat.
Perbedaan teori kata kerja Gorys Keraf dan pakar lainnya :
  1. Gorys Keraf menentukan sebuah kata termasuk dalam kategori kata kerja melalui prosedur pengujian (pencalonan dan penentuan), sementara pakar lain dengan menentukan ciri-ciri dan mengelompokannya.
  2. Gorys keraf menentukan kata kerja berdasarkan struktur morfologis, sementara pakar lain menentukan kata kerja berdasarkan pendekatan bentuk, sintaksis dan semantis.
  3. Pendekatan bentuk dan struktur morfologis digunakan Gorys Keraf sebagai proses pencalonan kata kerja. Sementara pakar lain menggunakan dasar pendekatan bentuk untuk mengklasifikasikan kata kerja tersebut berdasarkan bentuknya.

C. Simpulan
Kata kerja menurut pengertian tata bahasa tradisional adalah kata yang menyatakan perbuatan. Secara umum kita mengenal kata kerja sebagai kata yang menyatakan suatu tindakan, keberadaan, pengalaman, atau pengertian dinamis lainnya. Jenis kata ini biasanya menjadi predikat dalam suatu frasa atau kalimat.
Ada beberapa pakar yang membahas kelas kata berdasarkan sudut pandangnya masing-masing. Kelas kata kerja juga memiliki kategori yang berbeda dalam menentukan kelasnya sesuai dengan para ahli bahasa yang mengemukakannya.
Gorys Keraf menentukan sebuah kata tergolong kata kerja berdasarkan struktur morfologisnya melalui dua prosedur yaitu pertama, melihat dari kesamaan bentuk, yaitu kata yang mengandung imbuhan me-, ber-, di-, -kan, -i, sebagai prosedur pencalonan kata kerja. kedua, melihat dari kelompok kata (frasa) yang sama dapat memperluas kata tersebut. Kelompok kata tersebut adalah kata dengan + kata sifat. Hal ini adalah penentuan suatu kata sebagai kata kerja.
Berbeda dengan pakar lainnya Gorys Keraf hanya melakukan prosedur berdasarkan struktur morfologis saja, sementara pakar lainnya mengkategorikan sebuah kata menjadi sebuah kata kerja berdasarkan prilaku semantis, prilaku sintaksis, bentuk morfologis, makna, dan fungsi sebuah kata. Sehingga para ahli seperti Hasan Alwi, Harimukti Kridalaksana, Mansur Muslich dapat membuat subkategori kata kerja berdasarkan sudut pandang sintaksi, semantis, bentuk, makna dan fungsi tersebut.
Namun dalam menentukan ciri kata kerja Harimukti Kridalaksan memiliki persamaan dengan Gorys Keraf yaitu sebuah kata kerja adalah kata yang dapat diperluas dengan kata dengan + kata sifat.


D. Daftar Pustaka
Alwi,Hasan,dkk.1998.Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka.
Arifin, Z. dan Junaiyah.2009. Morfologi Bentuk, Makna dan Fungsi. Jakarta: Grasindo.
Chaer,Abdul.2003.Seputar Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Putrayasa, Ida Bagus.2010.Kajian Morfologi.Bandung:Refika Aditama.
Muslich, Mansur.2010.Garis-Garis Besar Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Bandung:Refika Utama.
Muslich, Mansur.2010.Tata Bentuk Bahasa Indonesia. Jakarta:Bumi Aksara.